- Kemungkinan penurunan kecepatan pengambilan keputusan dan kualitas
keputusan. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sentralisasi seringkali
tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang sekiranya berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan tersebut.
- Demotivasi dan disinsentif bagi pengembangan unit organisasi. Anggota
organisasi sulit mengembangkan potensi dirinya karena tidak ada wahana dan
dominasi pimpinan yang terlalu tinggi.
- Penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan. Organisasi
sangat bergantung pada daya respon sekelompok orang saja.
- Peningkatan kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan organisasi akan semakin
rumit karena banyaknya masalah pada level unit organisasi yang di bawah.
- Perspektif luas tapi kurang mendalam. Pimpinan organisasi akan mengambil
keputusan berdasar perspektif organisasi secara keseluruhan tapi tidak atau
jarang mempertimbangkan implementasinya akan seperti apa.
2. Desentralisasi
Secara konseptual, pengertian desentralisasi ini telah banyak
didefinisikan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang, terutama
perspektif politik dan administrasi publik. Salah satu definisi
desentralisasi yang menjadi rujukan dalam perspektif administrasi
publik adalah dikemukakan Rondinelli dan Cheema (1983: 18) yang
menyatakan bahwa desentralisasi:
“...The transferring of planning, decision-making, or administrative
authority from central government to its field organizations, local
administrative units, semi autonomous and parastatal organizations,
local governments, or nongovernmental organizations.”
Desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema merupakan penyerahan
perencanaan, pengambilan keputusan atau kewenangan administratif
dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit
administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan organisasi parastatal,
pemerintah lokal atau organisasi daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara
sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dan lain-lain) dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dasar pemikiran yang
melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh
program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini
akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan
kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
Mengapa Perlu Desentralisasi?, The Liang Gie (1978: 13) mengemukakan alasan-alasan perlunya
implementasi konsep desentralisasi. Alasan-alasan tersebut,
- Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani.
- Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan demokratisasi untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
- Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan
pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk
mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih
utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya
diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap
diurus oleh pusat.
- Dari sudut kultural, desentralisasi perlu
diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya
ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah,
seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan
ekonomi, watak budaya atau latar belakang
sejarahnya.
- Dari sudut kepentingan pembangunan
ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah dapat lebih banyak secara
langsung membantu pembangunan tersebut.
Para ahli desentralisasi merumuskan desentralisasi ini ke dalam
tiga varian bentuk, yakni dekonsentrasi (deconcentration),
desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), dan devolusi
(devolution) (Manor, 1999 dalam Mudiyati, 2011).
Dekonsentrasi
Merujuk kepada “the dispersal of
agents of higher levels of government into lower level arenas”.
Manor menekankan bahwa dalam tipe desentralisasi ini,
sebenarnya tidak ada kewenangan yang diserahkan dari pusat,
hanya ada relokasi aparat publik yang bertanggung jawab kepada
aparat yang lebih tinggi tingkatannya dalam sebuah sistem
pemerintahan. Ini senada dengan definisi yang dikemukakan Talcott
Parsons. Menurutnya, dekonsentrasi adalah the
sharing of power between members of the same
ruling group having authority respectively in different
areas of the state.
Atau dalam bahasa Rondinelli dan Cheema,
dekonsentrasi adalah pengalihan beberapa
kewenangan atas tanggung jawab administrasi di
dalam suatu kementerian atau jawatan. Di sini tidak
ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya
menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan
bertanggung jawab kepada atasannya.
Terlihat jelas, dekonsentrasi lebih mendukung sentralisasi, karena lebih memperkuat
pengaruh dari level pemerintahan yang lebih tinggi atas pemerintahan lokal di
bawahnya. Manor juga menekankan kondisi seperti ini menjadi fenomena yang
sering kali terjadi terutama di negara berkembang (less developed countries) di mana
aparat pusat yang ada di daerah mendominasi hampir semua urusan pemerintahan,
karena tekanan pusat sangat besar daripada masyarakat lokal.
Sebaliknya, Turner (2002) berpendapat bahwa dekonsentrasi, jika “well-planned and
properly implemented”, memiliki beberapa potensi keuntungan, baik secara
manajerial maupun politik dalam hal memperluas partisipasi masyarakat. Berdasarkan pengalaman Kamboja, Turner menyatakan bahwa dekonsentrasi
merupakan strategi yang lebih baik untuk diterapkan di negara berkembang
ketimbang devolusi. Hal ini karena negara berkembang memiliki kapasitas organisasi
yang masih terbatas dalam hal struktur, proses dan keahlian yang mendukung
devolusi kewenangan yang sesungguhnya. Ditambah lagi, banyak negara
berkembang masih mengalami kondisi politik yang tidak stabil. Dekonsentrasi juga
lebih tepat ketimbang devolusi di negara berkembang karena masih kuatnya tradisi
hierarkis yang mungkin akan menghambat pengambilan keputusan dari pemerintah
lokal dan membangun program desentralisasi yang partisipatif, responsif dan
akuntabel.
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal yang menyangkut “downward fiscal transfers,
by which higher levels in a system cede influence over budgets
and financial decisions to lower level” (Manor, 1999: 9).
Kewenangan ini biasanya diserahkan kepada aparat birokrasi
pusat (deconcentrated bureaucrats) atau yang ditunjuk dari
pemerintah pusat yang bertanggung jawab kepada atasannya.
Untuk alasan ini, desentralisasi fiskal juga dikritisi karena bukan
sebagai “genuine decentralization”, khususnya berkenaaan
dengan tidak adanya kesempatan bagi penduduk lokal untuk
terlibat dalam urusan-urusan fiskal dari pemerintah lokal.
Devolusi
Bentuk yang ketiga adalah devolusi atau democratic decentralization yang
merujuk kepada “the transfer of resources and power (and often tasks) to lower
level authorities which are largely or wholly independent of higher levels of
government….” Schneider (2003: 18) menambahkan bahwa kemandirian
tersebut memungkinkan aktor politik lokal untuk mengelola isu-isu lokal tanpa
campur tangan pusat atau pemerintah di atasnya.
Bentuk yang ketiga ini dianggap oleh para pendukung konsep desentralisasi
merupakan desentralisasi dalam makna yang sesungguhnya (the genuine form
of decentralization).
Menurut Smith (1985), hal ini karena devolusi
memungkinkan penduduk lokal untuk mempunyai suara dan dapat
memengaruhi proses-proses pengambilan keputusan; demokratisasi menjadi
diperkuat karena aparat publik menjadi lebih akuntabel, dan pelayanan publik
menjadi lebih baik karena pemerintah lokal menjadi lebih efisien dalam
mengatasi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya daripada pemerintah pusat.
Di Indonesia, dari beberapa model yang ada,
praktik desentralisasi yang diterapkan lebih
mengarah ke devolutif ketimbang dekonsentratif,
dalam bentuk pelimpahan atau pendelegasian
kewenangan (kekuasaan) dari pemerintah pusat (di
atasnya) kepada pemerintahan daerah (local
government), yang kemudian dikenal dengan
otonomi daerah.
3. Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh
Partadinata (2002: 83) adalah “keleluasaan dalam
bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan
tanggung jawab badan pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya
sebagai manifestasi dari desentralisasi.”
Pengertian tersebut menunjukan bahwa sebagai
konsekuensi pemberian otonomi daerah dalam
wujud hak dan wewenang mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya, pemerintah daerah
berkewajiban untuk mempertanggung- jawabkannya, baik kepada negara maupun
masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan, otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sebagaimana diamanatkan
perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa sebagai konsekuensi
pemberian otonomi daerah dalam wujud hak dan wewenang mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya, pemerintah daerah
berkewajiban untuk mempertanggung-jawabkannya, baik kepada
negara maupun masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan,
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana diamanatkan
perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
Hoessein (1993: 15), yang menerjemahkan otonomi daerah sebagai
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional
suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara
formal berada di luar pemerintahan pusat. Pengertian tersebut
mencerminkan bahwa otonomi daerah sesungguhnya merupakan
pengejawantahan dari kehendak rakyat, yang secara formal
dimanifestasikan melalui kelembagaan pemerintah daerah atau di luar
pemerintahan pusat.
Berbagai pandangan di atas menunjukan
bahwa otonomi daerah sesungguhnya
merupakan hak dan wewenang
pemerintah daerah untuk mengelola atau
mengurus dan mengatur berbagai
potensi, sumber daya dan rumah tangga
daerah sesuai dengan situasi dan kondisi
daerah yang diarahkan bagi kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat, yang
secara operasional diterjemahkan atau
dilaksanakan oleh kelembagaan daerah.
Koswara (2001: 72) mengemukakan empat pertimbangan tentang
pentingnya pemberian otonomi kepada daerah, yakni:
- Pertama, dari segi politik, pemberian otonomi dipandang untuk mencegah
penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akhirnya menimbulkan
pemerintahan tirani dan totaliter serta anti-demokratis.
- Kedua, dari segi demokrasi, otonomi diyakini dapat mengikutsertakan
rakyat dalam proses pemerintahan sekaligus mendidik rakyat menggunakan
hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
- Ketiga, dari segi teknis organisasi pemerintahan, otonomi dipandang
sebagai cara untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien serta
lebih responsible. Apa yang dianggap lebih doelmatig untuk diurus
pemerintah dan masyarakat setempat diserahkan saja ke daerah dan apa
yang lebih tepat berada di tangan pusat tetap diurus oleh pusat.
- Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu
pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban
bagi penyelesaian suatu tugas sebagai hal yang wajar.
Secara substantif dapat dikemukakan bahwa
urgensi pelaksanaan otonomi daerah, antara lain:
Pertama, upaya peningkatan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,
khususnya di daerah.
Kedua, upaya untuk memperlancar pelaksanaan
pembangunan, khususnya di daerah.
Ketiga, meningkatkan peran serta masyarakat
dalam proses demokratisasi pemerintahan.
Keempat, meningkatkan keadilan dan pemerintaan
dalam berbagai dimensi kehidupan.
Urgensi pelaksanaan otonomi daerah tersebut
akan terjawab manakala kebijakan otonomi daerah
tersebut dapat dilaksanakan secara efektif.
Komentar
Posting Komentar