Konsep Sentralisasi, Desentralisasi dan Otonomi Daerah

 Mengenal Konsep Sentralisasi, Desentralisasi dan Otonomi Daerah 

    Sentralisasi desentralisasi dan otonomi daerah adalah istilah yang tidak lagi asing di telinga kita saat ini. Dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, sentralisasi, desentralisasi dan otonomi adalah sebuah kontium. Karena tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan satu azas saja. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Sedangkan desentralisasi dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kemudian otonomi daerah adalah hak dan kewajiban daerah yang mengatur dan mengurus rumahnya sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan.

1. Sentralisasi 

Berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. 

    Secara terminology sentralisasi :

  1. B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang paham nya kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik ekonomi, social di satu pusat.
  2. Sentralisasi adalah seeluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.
    Berdasarkan definisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut uu. menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah.

Secara teoritis sentralisasi memiliki keunggulan antara lain : 
  1. Organisasi menjadi lebih ramping dan efisien. 
  2. Perencanaan dan pengembangan organisasi lebih terintegerasi. Tidak perlu jenjang koordinasi yang terlalu jauh antara unit pengambilan keputusan dan yang akan melaksanakan atau terpengaruh oleh pengambilan keputusan tersebut. 
  3. Peningkatan resource sharing dan sinergi. Sumberdaya dapat dikelola secara lebih efisien karena dilakukan lebih terpusat.
  4. Pengurangan redundancies aset dan fasilitas lain. Satu aset dapat dipergunakan secara bersama-sama tanpa harus menyediakan aset yang sama untuk pekerjaan yang berbeda-beda.
  5. Perbaikan koordinasi. Koordinasi menjadi lebih mudah karena adanya unity of command. Pemusatan expertise. Keahlian dari anggota organisasi dapat dimanfaatkan secara maksimal karena pimpinan dapat memberi wewenang. 
    Namun sentralisasi juga memiliki kelemahan diantaranya adalah : 
  1. Kemungkinan penurunan kecepatan pengambilan keputusan dan kualitas keputusan. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sentralisasi seringkali tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang sekiranya berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut. 
  2. Demotivasi dan disinsentif bagi pengembangan unit organisasi. Anggota organisasi sulit mengembangkan potensi dirinya karena tidak ada wahana dan dominasi pimpinan yang terlalu tinggi.
  3. Penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan. Organisasi sangat bergantung pada daya respon sekelompok orang saja.
  4. Peningkatan kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan organisasi akan semakin rumit karena banyaknya masalah pada level unit organisasi yang di bawah.
  5. Perspektif luas tapi kurang mendalam. Pimpinan organisasi akan mengambil keputusan berdasar perspektif organisasi secara keseluruhan tapi tidak atau jarang mempertimbangkan implementasinya akan seperti apa.

    2. Desentralisasi

    Secara konseptual, pengertian desentralisasi ini telah banyak didefinisikan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang, terutama perspektif politik dan administrasi publik. Salah satu definisi desentralisasi yang menjadi rujukan dalam perspektif administrasi publik adalah dikemukakan Rondinelli dan Cheema (1983: 18) yang menyatakan bahwa desentralisasi: “...The transferring of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organizations, local governments, or nongovernmental organizations.” 
    Desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema merupakan penyerahan perencanaan, pengambilan keputusan atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan organisasi parastatal, pemerintah lokal atau organisasi daerah.
    Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 


    Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
    Mengapa Perlu Desentralisasi?, The Liang Gie (1978: 13) mengemukakan alasan-alasan perlunya implementasi konsep desentralisasi. Alasan-alasan tersebut,
  • Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani.
  • Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan demokratisasi untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. 
  • Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pusat.
  • Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak budaya atau latar belakang sejarahnya.
  • Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak secara langsung membantu pembangunan tersebut.
    Para ahli desentralisasi merumuskan desentralisasi ini ke dalam tiga varian bentuk, yakni dekonsentrasi (deconcentration), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), dan devolusi (devolution) (Manor, 1999 dalam Mudiyati, 2011).

Dekonsentrasi 
    Merujuk kepada “the dispersal of agents of higher levels of government into lower level arenas”. Manor menekankan bahwa dalam tipe desentralisasi ini, sebenarnya tidak ada kewenangan yang diserahkan dari pusat, hanya ada relokasi aparat publik yang bertanggung jawab kepada aparat yang lebih tinggi tingkatannya dalam sebuah sistem pemerintahan. Ini senada dengan definisi yang dikemukakan Talcott Parsons. Menurutnya, dekonsentrasi adalah the sharing of power between members of the same ruling group having authority respectively in different areas of the state. Atau dalam bahasa Rondinelli dan Cheema, dekonsentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi di dalam suatu kementerian atau jawatan. Di sini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya.
    Terlihat jelas, dekonsentrasi lebih mendukung sentralisasi, karena lebih memperkuat pengaruh dari level pemerintahan yang lebih tinggi atas pemerintahan lokal di bawahnya. Manor juga menekankan kondisi seperti ini menjadi fenomena yang sering kali terjadi terutama di negara berkembang (less developed countries) di mana aparat pusat yang ada di daerah mendominasi hampir semua urusan pemerintahan, karena tekanan pusat sangat besar daripada masyarakat lokal. 
    Sebaliknya, Turner (2002) berpendapat bahwa dekonsentrasi, jika “well-planned and properly implemented”, memiliki beberapa potensi keuntungan, baik secara manajerial maupun politik dalam hal memperluas partisipasi masyarakat. Berdasarkan pengalaman Kamboja, Turner menyatakan bahwa dekonsentrasi merupakan strategi yang lebih baik untuk diterapkan di negara berkembang ketimbang devolusi. Hal ini karena negara berkembang memiliki kapasitas organisasi yang masih terbatas dalam hal struktur, proses dan keahlian yang mendukung devolusi kewenangan yang sesungguhnya. Ditambah lagi, banyak negara berkembang masih mengalami kondisi politik yang tidak stabil. Dekonsentrasi juga lebih tepat ketimbang devolusi di negara berkembang karena masih kuatnya tradisi hierarkis yang mungkin akan menghambat pengambilan keputusan dari pemerintah lokal dan membangun program desentralisasi yang partisipatif, responsif dan akuntabel.

Desentralisasi Fiskal
    Desentralisasi fiskal yang menyangkut “downward fiscal transfers, by which higher levels in a system cede influence over budgets and financial decisions to lower level” (Manor, 1999: 9). Kewenangan ini biasanya diserahkan kepada aparat birokrasi pusat (deconcentrated bureaucrats) atau yang ditunjuk dari pemerintah pusat yang bertanggung jawab kepada atasannya. Untuk alasan ini, desentralisasi fiskal juga dikritisi karena bukan sebagai “genuine decentralization”, khususnya berkenaaan dengan tidak adanya kesempatan bagi penduduk lokal untuk terlibat dalam urusan-urusan fiskal dari pemerintah lokal.

Devolusi
    Bentuk yang ketiga adalah devolusi atau democratic decentralization yang merujuk kepada “the transfer of resources and power (and often tasks) to lower level authorities which are largely or wholly independent of higher levels of government….” Schneider (2003: 18) menambahkan bahwa kemandirian tersebut memungkinkan aktor politik lokal untuk mengelola isu-isu lokal tanpa campur tangan pusat atau pemerintah di atasnya. Bentuk yang ketiga ini dianggap oleh para pendukung konsep desentralisasi merupakan desentralisasi dalam makna yang sesungguhnya (the genuine form of decentralization).
Menurut Smith (1985), hal ini karena devolusi memungkinkan penduduk lokal untuk mempunyai suara dan dapat memengaruhi proses-proses pengambilan keputusan; demokratisasi menjadi diperkuat karena aparat publik menjadi lebih akuntabel, dan pelayanan publik menjadi lebih baik karena pemerintah lokal menjadi lebih efisien dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya daripada pemerintah pusat.
    Di Indonesia, dari beberapa model yang ada, praktik desentralisasi yang diterapkan lebih mengarah ke devolutif ketimbang dekonsentratif, dalam bentuk pelimpahan atau pendelegasian kewenangan (kekuasaan) dari pemerintah pusat (di atasnya) kepada pemerintahan daerah (local government), yang kemudian dikenal dengan otonomi daerah.

    3. Otonomi Daerah



    Otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh Partadinata (2002: 83) adalah “keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab badan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manifestasi dari desentralisasi.” 
    Pengertian tersebut menunjukan bahwa sebagai konsekuensi pemberian otonomi daerah dalam wujud hak dan wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggung- jawabkannya, baik kepada negara maupun masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana diamanatkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
    Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa sebagai konsekuensi pemberian otonomi daerah dalam wujud hak dan wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggung-jawabkannya, baik kepada negara maupun masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana diamanatkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. 
    Hoessein (1993: 15), yang menerjemahkan otonomi daerah sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintahan pusat. Pengertian tersebut mencerminkan bahwa otonomi daerah sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari kehendak rakyat, yang secara formal dimanifestasikan melalui kelembagaan pemerintah daerah atau di luar pemerintahan pusat.
    Berbagai pandangan di atas menunjukan bahwa otonomi daerah sesungguhnya merupakan hak dan wewenang pemerintah daerah untuk mengelola atau mengurus dan mengatur berbagai potensi, sumber daya dan rumah tangga daerah sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang diarahkan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, yang secara operasional diterjemahkan atau dilaksanakan oleh kelembagaan daerah.
    Koswara (2001: 72) mengemukakan empat pertimbangan tentang pentingnya pemberian otonomi kepada daerah, yakni: 
  • Pertama, dari segi politik, pemberian otonomi dipandang untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akhirnya menimbulkan pemerintahan tirani dan totaliter serta anti-demokratis.
  • Kedua, dari segi demokrasi, otonomi diyakini dapat mengikutsertakan rakyat dalam proses pemerintahan sekaligus mendidik rakyat menggunakan hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
  • Ketiga, dari segi teknis organisasi pemerintahan, otonomi dipandang sebagai cara untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien serta lebih responsible. Apa yang dianggap lebih doelmatig untuk diurus pemerintah dan masyarakat setempat diserahkan saja ke daerah dan apa yang lebih tepat berada di tangan pusat tetap diurus oleh pusat.
  • Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi, suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban bagi penyelesaian suatu tugas sebagai hal yang wajar.

    Secara substantif dapat dikemukakan bahwa urgensi pelaksanaan otonomi daerah, antara lain:
Pertama, upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di daerah.
Kedua, upaya untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan, khususnya di daerah.
Ketiga, meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokratisasi pemerintahan.
Keempat, meningkatkan keadilan dan pemerintaan dalam berbagai dimensi kehidupan.
    Urgensi pelaksanaan otonomi daerah tersebut akan terjawab manakala kebijakan otonomi daerah tersebut dapat dilaksanakan secara efektif.
    

Komentar